Mahasiswa Jadi Petani? Jangan ‘Berharap’, Sebelum Selesaikan Masalahnya.

source image : Republika.id
 

Beberapa waktu lalu, saya sempat terheran-heran ketika mendengar ajakan Presiden Jokowi kepada mahasiswa atau kaum muda agar tertarik menjadi seorang petani. Ajakan ini memang bukan pertama kalinya ia lakukan. Dalam beberapa kesempatan, ketika ia masih menjabat sebagai presiden pada periode sebelumnya, narasi ajakan seperti ini sudah pernah ia lakukan berkali-kali.

Yaa memang tidak ada yang salah dari ajakan tersebut. Namun, saya jadi bingung kepalang. Sebab beberapa hari sebelumnya,  ia meminta kepada setiap universitas agar mendidik mahasiswa dengan ‘kurikulum industri’.

Bagaimana saya tak bingung kepalang, sebab dua keinginan dan harapan tersebut tampaknya agak sulit jika dilakukan secara bersamaan. Di satu sisi, Pak Jokowi mengajak kaum muda (mahasiwa) sebagai seorang petani agar bisa membangun kemandirian pangan atau bahkan dapat memperoleh pendapatan besar untuk menumbuhkan perekonomian.

Di sisi lainnya, Pak Jokowi meminta universitas memberikan’ kurikulum industri’ sebagai sarana mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman agar mahasiswa siap berkerja untuk memenuhi kebutuhan  dunia industri yang semakin berkembang.

Namun, seketika itu juga ada pertanyaan hinggap dalam kepala saya. “Strata pendidikan seperti;  Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) atau Perguruan Tinggi Politeknik apa gunanya?  Ketika ranah akademis (universitas) masih menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan industri?”

Ah sudahlah, lagi pula saya juga tidak begitu mengerti apa yang dipikirkan Pak Jokowi. Sama seperti halnya ketika saya mencoba untuk memahami gagasan ‘revolusi mental’nya. Ruweeet.

Tapi dengan adanya ajakan tersebut, saya agak bersimpati. Saya pikir pemerintah cuma peduli dengan investasi. Ternyata saya seudzon, hehe. Tampaknya Pak Jokowi juga ingin membuka mata seluruh masyarakat untuk lebih peduli terhadap ketahanan pangan.

Karena dalam keadaan pandemi yang saat ini tak menentu, krisis pangan mungkin terjadi dan dapat menjadi ancaman besar bagi suatu negara. Contohnya; pada saat ini, negara Korea Utara mengalami ancaman krisis pangan yang begitu menakutkan. Bahkan, sampai jatah beras militernya, mereka jual kepada rakyatnya dengan harga yang lebih murah. Dengan harapan dapat menjaga harga pangan tetap stabil.

Namun, ketika saya mencoba untuk bersimpati dengan ajakan tersebut. Saya jadi teringat proyek Food Estate yang telah ia lakukan di Kalimantan Tengah dengan luas lahan mencapai 30 ribu hektare (ha). Untuk luas lahan seperti itu tampaknya bukan luas lahan biasa bukan? Bagaimana perkembangannya yaa? Hmmm. 

Lagi pula sebelum memberikan ‘ajakan’, harusnya Pak Jokowi mengerti bahwa menjadi petani bukan suatu profesi yang mudah. Harus memiliki ketabahan. Ketabahan seperti apa? Ketabahan ketika sewaktu-waktu disakiti oleh pemerintahnya sendiri.

Wah, bagi saya bukan hal yang tabu ketika pemerintah beberapa kali menjadi momok menakutkan bagi para petani. Alih fungsi lahan sering kali menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Pembangunan infrastruktur dan penambangan tak akan lekas hilang sebagai ketakutan utama mereka.

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, pada tahun 2020 terdapat 241 total kasus konflik agraria. Terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampak 135.332 kepala keluarga (KK). Buaaanyaak banget kan?

Untuk merefleksi ingatan kita terkait kasus alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia. Saya ingin mengajak teman-teman untuk mencoba meramu. Seberapa besar peran pemerintah dalam menangani kasus alih fungsi lahan yang sering menimpa para petani.

Saya ambil salah satu dari sekian banyak kasus. Contohnya; 15 tahun perjuangan para petani Kulon Progo, melawan rencana proyek pabrik dan penambangan pasir besi. Sampai saat ini mereka dirugikan dengan adanya pengalihan lahan pertanian sebagai lokasi penambangan. Sebab lahan tersebut digunakan para petani untuk memanfaatkan lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebagai tempat mereka untuk bercocok tanam.

Atau, perjuangan warga Desa Wadas melakukan penolakan tambang dan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk merealisasikan pembangunan Bendungan Bener. Bagi mereka, warga desa yang notabennya berprofesi sebagai petani, sulit membayangkan jika dua hal tersebut terealisasikan. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup, jika lahan sebagai sumber kehidupan mereka direnggut begitu saja.

Lantas, bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan masalahnya? Wah-wah-wah! Yaa engga ada dong! Bisa kalian bayangkan aja, 15 tahun perjuangan masih tetap tak terselesaikan. Belum lagi dengan segala bentuk ancaman dan tindakan represif aparat. Jadi jangan ada harapan pemerintah punya langkah konkrit untuk menyelesaikan masalahnya. Jangan ‘berkhayal’ deh.

Jadi menurut saya, jangan berharap besar kepada kaum muda (mahasiswa) ingin menjadi petani. Wong jaminan keadilan dan kelayakan hidupnya aja susah. Engga perlu ajak ini, itu dulu deh. Paling engga fokus untuk menyukseskan agenda ‘reforma agraria’. Gagasan yang telah ia bentuk pada periode sebelumnya.

Menurut saya, sampai saat ini gagasan tersebut belum sama sekali terlihat dengan jelas keberhasilannya. Masih banyak dari mereka (kaum tani), sulit sekali mendapatkan jaminan keadilan dan kesejahteraan.

Berikan para petani jaminan bantuan dalam bentuk apapun. Berikan mereka keadilan, kesejahteraan, dan segala bentuk bantuan fasilitas untuk  menunjang perkembangan pertanian para petani Indonesia jadi jauh lebih baik.

Tanpa perlu ajakan, kayanya kaum muda-mudi mau deh jadi petani kalau masalah-masalah seperti itu dapat terselesaikan. Tapi eh tapi, saya harap masih banyak kaum muda-mudi tertarik dan konsern terkait hal ini. Terutama menjadi seorang petani. Soalnya, saya rasa udah terlalu banyak muda-mudi memilih jalur sebagai influencer, selebgram dan tiktokers. Kayanya emang lebih menjanjikan deh~ hehe.

 

Comments

Popular posts from this blog

‘Pantai Sampah’, Julukan Penuh Harapan